ARTICLE AD BOX
JPU menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,6 miliar.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar, Mia Fida Erliyah dkk menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) UU Tipikor, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu primair penuntut umum.
Selain pidana penjara, Mudana juga dituntut membayar denda sebesar Rp 300 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti hukuman 3 bulan kurungan. Tak hanya itu, JPU juga menuntut pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti kerugian keuangan LPD sebesar Rp 1.641.592.500. “Jika tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dijual lelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Dan bila hartanya tidak mencukupi, terdakwa akan menjalani pidana penjara pengganti selama 3 tahun 6 bulan,” jelas JPU di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Putu Ayu Sudariasih.
JPU juga menguraikan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan tuntutan. Hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi dan menimbulkan Keuangan Negara atau daerah, dalam hal ini LPD Desa Pakraman Intaran, Sanur sebesar Rp 1.641.592.500. Sedangkan hal meringankan, terdakwa telah mengembalikan sebagian kerugian keuangan negara.
“Pembayaran yang telah dilakukan oleh terdakwa sebesar Rp 200 juta, pada tahap penuntutan akan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti,” kata JPU. Selain itu, terdakwa juga dinilai bersikap sopan di persidangan dan mengakui perbuatannya, merupakan tulang punggung keluarga, menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, serta belum pemah dihukum sebelumnya. Dijelaskan selama sidang, modus korupsi yaitu dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala LPD sejak tahun 2009 hingga 2022. Ia mengajukan kredit atas nama pribadinya tanpa prosedur yang sesuai, tanpa analisis kredit, tanpa jaminan, dan melebihi Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). “Dana yang diperoleh digunakan untuk membayar utang pribadinya dan membayar uang muka pembelian tanah di Takmung, Klungkung,” sebut JPU.
Pengajuan kredit dilakukan tanpa melalui bagian kredit, tanpa pengecekan agunan, dan tanpa survei. Seluruh dokumen kredit dibuat oleh staf administrasi atas perintah terdakwa, dan ditandatangani sendiri oleh Wayan Mudana sebagai debitur sekaligus Kepala LPD. Apabila tidak diikuti atau dituruti, maka terdakwa marah-marah.
Awalnya, pada 26 Maret 2014, terdakwa mengajukan pinjaman Rp 400 juta. Namun, dalam kurun waktu 2014 hingga 2018, ia menarik dana sebesar Rp 3,42 miliar. Untuk menutupi kelebihan tersebut, ia melakukan restrukturisasi kredit dan menaikkan plafon menjadi Rp 11 miliar, lalu kembali menarik dana Rp 1 miliar hingga 2019. Setelah itu, plafon kembali dinaikkan menjadi Rp 12 miliar dengan jaminan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang ternyata tidak pernah diserahkan secara fisik ke LPD. Terdakwa juga menggunakan jaminan dari nasabah yang kreditnya macet.
Sertifikat tersebut dibeli, dibalik nama atas namanya, lalu dijadikan jaminan untuk pinjaman pribadi. Uang hasil pinjaman itu digunakan untuk mengambil alih jaminan dan memenuhi kebutuhan pribadinya. Tak hanya itu, terdakwa kembali mengajukan kredit baru pada 1 Juli 2016 dengan plafon Rp 5 miliar, namun menarik hingga Rp 6,04 miliar. Ia kembali melakukan restrukturisasi pada 29 Desember 2018 dengan plafon yang ditingkatkan menjadi Rp 15 miliar. Sama seperti sebelumnya, jaminan yang digunakan adalah sertifikat tanah milik nasabah kredit macet.
Selama kepemimpinannya, LPD juga mengalami krisis keuangan. Banyak kredit macet, tidak adanya SOP pengelolaan keuangan maupun peraturan adat tentang Aset Yang Diambil Alih (AYDA). Kebijakan seperti dana talangan dilakukan tanpa persetujuan prajuru adat atau pengawas LPD, melainkan hanya berdasarkan kebijakan lisan dari Bendesa Adat saat itu. 7 t